Beranda | Artikel
Hakikat Kalimat Tauhid [Bagian 14]
Sabtu, 16 Februari 2013

Kewajiban Tunduk Kepada Hukum Allah

Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-‘Ali, hal. 37)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karyaSyaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 49).

Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan, “Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun maksud “Bagi orang-orang yang yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur’an.” (lihat Zaadul Masir, hal. 390)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari’at. Ia disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/82])

Bagi seorang muslim, Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, “Bukankah Dia (Allah) Dzat yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat aniaya dan tidak menzalimi siapapun…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [8/435] cet. Dar Thaibah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Itulah yang terbaik bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Oleh sebab itu ahli kitab yang menaati pendeta dan rahib-rahib mereka dalam melanggar hukum-hukum Allah disebut dalam al-Qur’an dengan istilah ‘mengangkat rabb selain Allah’. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah, dan al-Masih putra Maryam pun mereka perlakukan demikian. Padahal, mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada sesembahan yang satu saja. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)

Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, dia berkata: Dahulu aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara di leherku masih terdapat salib dari emas. Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Adi! Buanglah berhala ini.” Dan aku mendengar beliau membaca ayat dalam surat al-Bara’ah (yang artinya), “Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah.” (QS. at-Taubah: 31). Beliau bersabda, “Mereka memang tidak beribadah kepada pendeta dan rahib-rahib itu. Akan tetapi apabila pendeta dan rahib menghalalkan sesuatu lalu mereka pun menghalalkannya. Demikian juga apabila mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkannya.” (HR. Tirmidzi dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/93])

Ahli kitab disebut ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ karena mereka mengangkat pendeta dan rahib sebagai pembuat syari’at untuk mereka yang menetapkan halal dan haram, sehingga pengikutnya pun menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Oleh sebab itu ahli kitab dinilai telah menjadikan pendeta dan rahib seolah-olah sebagai Rabb/Sang Maha Pengatur. Padahal, penetapan syari’at merupakan bagian dari kekhususan rububiyah yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala (lihat catatan kaki Fath al-Majid, hal. 96).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Maksud dari ‘menjadikan rabb selain Allah’ adalah menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla dalam hal pembuatan syari’at; sebab mereka berani menghalalkan apa yang diharamkan Allah sehingga para pengikut itu pun menghalalkannya. Mereka pun berani mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sehingga membuat para pengikutnya juga ikut mengharamkannya.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/66])

Oleh sebab itu ketaatan kepada ulama atau penguasa yang melampaui batas bisa mengubah mereka menjadi sesembahan tandingan bagi Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab di dalam Kitab Tauhid dengan judul “Barangsiapa yang menaati ulama dan umara’ dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang diharamkan-Nya maka pada hakikatnya dia telah mengangkat mereka pada kedudukan rabb.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/63])

Umat manusia di atas muka bumi ini tidak akan baik tanpa hukum Allah ta’ala. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi baik sementara ia dijauhkan dari bimbingan dan aturan yang telah digariskan oleh Dzat yang telah menciptakannya? Bukan kebaikan yang akan diperoleh, tetapi justru sebaliknya; keburukan dan kerusakan alam semesta. Itulah yang akan dipetik apabila umat manusia menyelisihi dan menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian merusak bumi setelah perbaikannya.” (QS. al-A’raaf: 56). Abu Bakr bin ‘Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada segenap penduduk bumi sementara ketika itu mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki mereka dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang mengajak untuk menyelisihi/menentang ajaran yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu artinya dia termasuk golongan orang-orang yang melakukan perusakan di atas muka bumi.” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Berhukum kepada selain Allah dan Rasul-Nya termasuk sebab terbesar yang menimbulkan kerusakan di muka bumi sehingga muncullah berbagai kemaksiatan. Maka tiada kebaikan baginya kecuali dengan berhukum dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah jalan orang-orang yang beriman.” (lihat Fath al-Majid, hal. 383)

Peringatan Bagi Orang Yang Berpaling Dari Hukum Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 50)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma’idah: 44)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma’idah: 45)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma’idah: 47)

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)

Abu ‘Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/494])

Thawus menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)

Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu ‘Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma’mun, hal. 17)

Dalam riwayat yang lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])

Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik…” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])

Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/498-499])

Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dikatakan kafir pada 3 keadaan:

  1. Apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr.
  2. Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah
  3. Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya…” (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)

Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)

Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])

Perlu ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri’ aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain Islam adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu perkara yang telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya; sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu tidak menghukumi pihak lain yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji’ah dan semacamnya. Akan tetapi mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan pemahaman bahwa hal itu termasuk masalah kekafiran yang diperselisihkan, sebagaimana halnya hukum orang yang meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-Jasim, hal. 67)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menasehati kita, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa diantara penguasa tersebut ada yang benar-benar kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu [pengkafiran] dan menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)

Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur’an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau tidak dengan serta merta mengkafirkan pemerintah [khalifah] yang menyerukan kekafiran itu. Beliau juga tidak memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa; padahal mereka jelas-jelas memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh sebagian ulama- agar meyakini al-Qur’an adalah makhluk!! (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)

Beliau berkata kepada sebagian ulama dan hakim penganut paham Jahmiyah ketika itu, “Adapun aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 63)

Ketika mendengar ada sebagian orang yang berniat melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan dicabik-cabik…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)


Artikel asli: http://abumushlih.com/hakikat-kalimat-tauhid-bagian-14.html/